Prinsip Kausalitas dalam Ilmu Tasawuf (Al-Ghazali dan Asy’ariyah)
Ahli filsafat menyatakan bahwa tidak ada satu halpun
di dunia ini yang tidak menerapkan prinsip kausalitas, sehingga secara
filosofis manusia tidak dapat memahami fenomena nyata apapun, kecuali ia
meletakkan dalam kerangka prinsip kausalitas. Kausalitas telah menjadi sentral
kajian filsafat, bahkan sejak zaman Aristoteles hingga saat ini. Maka dari itu,
tugas utama yang sangat mendesak bagi ahli-ahli dalam bidang ini yaitu menemukan teori kausalitas yang komprehensif
dan adekuat, meskipun mereka harus secara terus menerus memperluas wilayah dan
memperkenalkan bidang cakupan yang baru. Hal tersebut mengundang kecurigaan
para teolog, karena bagi mereka kausalitas tidak pernah dianggap sebagai bentuk
murni dari gambaran fenomena, karena bagi mereka suatu sebab tidak dapat
langsung diartikan sebagai penghasil eksistensi lain, sebagaimana yang
dimengerti oleh filsafat.[1]
Hal serupa juga terjadi dalam Islam,
dimana kausalitas telah menjadi salah satu dari pokok pikiran yang
diperdebatkan antara teologi di satu sisi dan filsafat di sisi yang lain.[2]
Filsof Islam berpendapat bahwa kausalitas menyelamatkan keteraturan alam
semesta, sementara bagi teolog, masalah tersebut berhubungan dengan keyakinan,
yaitu transendensi Tuhan. Pertentangan tersebut pada akhirnya memunculkan
pertentangan filosofis. Sejarah pemikiran Islam menyatakan bahwa aliran teologi
yang banyak membawa persoalan kausalitas adalah aliran Asy’ariyah, dimana yang
diperdebatkan adalah tentang hakikat kausalitas itu sendiri, yaitu hukum
kemestian rasional yang terdapat dalam kausalitas.[3]
Menurut mereka, keniscayaan yang ditangkap dalam kausalitas tidak boleh
ditafsirkan dari sudut pandang rasional maupun empiris, tetapi harus dengan
kacamata kekuasaan Allah SWT.[4]
Hal ini karena konsepsi tentang Tuhan dalam aliran mereka dianggap bertindak
secara langsung tanpa perantara, sehingga pemikiran tersebut bertentangan
dengan pandangan kausalitas para filosof.
Aliran Asy’ariyah juga mempermasalahkan kausalitas
dari sudut pandang metafisika Atomis
Konseptual, atau yang lebih dikenal dengan istilah Occasionalisme.[5] Pengambilan teori
atom oleh kaum Asy’ariyah, menurut Majid Fakhri, bertujuan untuk mempertahankan
pandangan dan prinsip teologi Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan. Maka dari
itu, menjadi masuk akal jika Abu Hasan Al-Asy’ary pada masa sebelumnya telah
mengambil teori ini untuk mempertahankan prinsip teologinya[6],
karena konsepsi Tuhan yang bersifat mutlak dalam teori tersebut dapat dengan
mudah diterapkan, serta keberadaan Tuhan sebagai pelaku Yang Maha Kuasa dapat
terus dipertahankan, karena kaum Asy’ariyah sangat tertarik dengan
kemahakuasaan Tuhan.
Masalah seperti ini juga dibahas dalam karya
Al-Ghazali[7],
yaitu dalam bukunya yang berjudul Tafahut
al-Falasifah.Al-Ghazali menganggap masalah ini sebagai suatu masalah yang
krusial. Menurutnya, pandangan filsafat tentang fisika rentan terhadap satu
kesalahan besar. Perjalanan alami suatu peristiwa adalah wajib dan mustahil
untuk diubah, sehingga para filsof tidak dapat memperkirakan (karena mereka
terlalu taat azas kepada prinsip filosofis), bahwa Jika Allah berkehendak, maka
sebenarnya Ia berkuasa untuk mengubah dan mempengaruhi hukum alam/kausalitas.
Kekuasaan tersebut yang juga yang membuat Allah SWT mampu berbuat sesuatu yang
sifatnya luar biasa dan diluar nalar akal manusia, yaitu Mu’jizat. Hal tersebut
berarti bahwa Al-Ghazali juga memiliki tujuan yang sama dengan pemikir teolog
Asy’ariyah yang lainnya.
Meskipun sama tujuannya, tetapi dari sisi metode
Al-Ghazali bertentangan. Al-Ghazali tidak menggunakan metode Occasionalis milik Asy’ariyah, tetapi
menggunakan pemikiran-pemikiran filsafat itu sendiri, sementara arus bawahnya
tetap menggunakan pola pikir teologi Asy’ariyah, sehingga Al-Ghazali memberikan
tambahan sisi objektif dari pandangan Asy’ariyah sebelumnya, sebagaimana apa
yang dikatakannya bahwa orang yang menyatakan jika perjalanan alami
peristiwa-peristiwa luar biasa tersebut adalah lazim dan tidak dapat diubah,
maka ia sebenarnya menganggap bahwa semua jenis mu’jizat adalah mustahil.
Al-Ghazali juga mengungkapkan tentang sebab mengapa
kausalitas dipermasalahkan, yaitu dipandang dengan dua sisi. Pertama, adalah
untuk menegaskan mu’jizat dan kedua, yaitu untuk satu pemikiran yang dapat
disepakati oleh seluruh kaum muslimin, bahwa Allah SWT adalah yang Maha Kuasa.
[1] Nur, Saleh. Kausalaitas. Jurnal
Ushuluddin. 2014. 2 : 224-237.
[2] H.A.R. Gibb, Studies on Civilization of Islam, (ed).
Stanford J. Shaw dan W.R. Polk, Beacon Press, Boston. 1968. Hlm. 205-206.
[3] Oliver Leaman, An Introduction to Medieval Islamic
Philosophy, alih bahasa. M. Amin Abdullah, Rajawali Press, Jakarta. 1989, Hlm. 111
[4] Sayyed Hossein
Nasr, Science and Civilization in Islam, alih
bahasa, J. Mahyudin, Pustaka.
Bandung. 1986. Hlm. 283
[5] T.J. De Boer, The History of Philosphy in Islam, edisi
Inggeris, oleh E.R. Jones, Dover Publications, New York, 1967. Hlm. 57
[6] Majid Fakhry, A History of Islamic Philosphy, alih bahasa,
R. Mulyadi Kartanegara, Pustaka Jaya, Jakarta, 1989. Hlm. 303
[7] Alfred Guillame, Islam, Penguin Books, Great Britain.
1975. Hlm 139-141.
Komentar
Posting Komentar